Sebenarnya aku tidak tahu dari mana bermula? Dan bagaimana bermula? Hatiku telah hancur dengan kesedihan. Tubuhku terasa lemas dengan kepedihan. Jantungku bergoncang , kerana setiap kata yang kutulis menunjukkan kesengsaraan yang kuderita. Kesengsaraan macam apa? Biarkanlah aku katakan sebagai intimidasi, atau menurut pemahaman yang popular adalah "terrorist".
Bukankah menimbulkan rasa takut pada orang yang dalam keadaan aman adalah terrorist? Bukankah kezaliman adalah terrorist juga? Ya, aku alami keadaan seperti ini bersama orang yang seharusnya menjadi manusia yang paling dekat denganku. Bukankah seorang isteri merupakan tempat yang damai bagi seorang suami dan suami adalah merupakan tempat yang damai bagi isteri, sebagaimana hal itu keyakinan kita?
Tuan kesengsaraanku bersama suamiku bermula sejak awal, semenjak malam pengantin. Dia tanamkan pada diriku benih rasa sakit dan ketakutan. Aku ingin memupuskan semua itu dengan rasa cinta dan berusaha untuk saling memahami. Tetapi wajah bengis yang tidak pernah pudar, perlakuan kasar yang menguatkan atas sikap yang merendahkan martabat dan menghina merupakan makananku tiap hari.
Usiaku belumlah tua. Usiaku baru 22 tahun. Sedangkan dia 30 tahun. Aku kira kematangan berfikir dan kedewasaan akal akan mempengaruhi tindakan- tindakannya... tetapi!!!
Aku diperlakukan seperti pembantu atau budak. Aku harus melaksanakan semua kewajiban-kewajibanku, mulai memakaikan baju dan kasut padanya. Tidak berakhir dengan menghidangkan makanan yang dimakan sendirian. Kejantanan dan keperkasaannya menahan dirinya untuk makan bersamaku diatas satu meja makan. Sebelum hingga sesudah ada anak. Aku mahupun anak-anakku tidak ada yang berani makan sebelumnya.
Sering sekali dia pulang kepadaku waktu larut malam. Aku tidak berani bertanya tentang tempat di mana dia bertandang, dan bersama siapa? Juga tentang bau yang menunjukkan bahawa itu adalah bau yang tidak baik dari minuman yang tidak baik? Kewajibanku hanyalah melepas kasut dan bajunya, meletakkan makanan dan berdiri di sampingnya hingga selesai.
Aku harus bangun lebih awal untuk membangunkannya. Dan dia pun bangun setelah bertengkar dan mencelaku, bahkan terkadang –Maha Suci Engkau ya Allah-dia meludahi wajahku.
Tuan aku tidaklah berlebihan!!Ketidakmampuanku untuk berbicara keras dan perasaan takutlah yang menghalangiku untuk banyak bicara.
Aku–walillahi al hamdu- adalah perempuan yang ada penampilan menarik, bersih dan berkedudukan. Namun dia tidak mahu menahan diri untuk mencelaku dengan kata-kata yang melukai. Ketika aku berusaha untuk membalas atau meminta untuk menceraikanku, tidak aku dapati kecuali tamparan dan tendangan. Yang dijadikan sebagai pembenaran dari perlakuannya adalah kejantanan dan keperkasaan, bukan pergaulan dan perlakuan yang baik.
Bayangkan dia belum pernah dan tidak pernah bercengkerama dengan anak-anaknya. Mereka adalah tiga anak perempuan yang cantik-cantik. Bahkan terkadang dia mengutuk kerana mereka dengan mengatakan, "Mereka tidak sebanding dengan kuku satu anak lelaki."
Anak-anak selalu hancur perasaannya dan bersedih, walaupun aku selalu berusaha mendakap dan menghibur mereka.
Percayalah aku dan anak-anakku hidup dalam ketakutan. Seluruh tingkahnya di rumah tidak pernah nampak tenang, bahkan kasar. Jika menghendaki sesuatu,tidak memanggilku, tetapi dengan melempariku dengan sesuatu yang ada didekatnya hingga aku bangkit. Atau menutup pintu dengan kasar. Atau memanggilku dengan tepukan tangan, seakan-akan aku ini adalah seorang pembantu. Jika teman-temannya datang ke rumah, aku harus berdiri dekat pintu untuk memenuhi permintaan-permintaannya.
Adapun hak-hakku sebagai isteri, maka aku tidak berhak untuk mendapatkannya.Bahkan dia mengambil haknya lalu pergi. Belum pernah terjadi dalam satu hari pun wajah dan tubuhku bersih dari bekas pukulan , dan luka atau lainnya.
Anak-anak kadang menjerit, tetapi dia tidak punya perhatian dan perasaan. Aku berusaha untuk merahsiakan (semua kejadian itu) pada diriku dan menahan diri, barangkali dia akan reda dan tenang... tetapi tidak bermanfaat.
Oh ya aku lupa menceritakan bahawa aku adalah keluaran perguruan tinggi dan berpendidikan. Jika yang dimaksud dengan berpendidikan adalah tanggapan dengan apa yang ada di sekitarku dan tahu tentang hak-hak dan kewajipan-kewajipan terhadap keluargaku; mulai dari suami yang merupakan sumber dari permasalahanku.
Mungkin Anda bertanya, "Kenapa Anda tidak meminta bantuan kepada keluarga Anda atau meminta cerai?"
Aku jawab,"Hal itu sering terjadi, dan keluargaku selalu memaksaku untuk kembali kepadanya. Atau setelah beberapa waktu dia datang untuk mengajak berbicara kepada keluargaku bukan kepadaku. Lalu ayah menyuruhku untuk pergi bersamanya. Aku tidak mampu berucap sepatah kata pun, kerana menghormatinya.
Kesimpulannya,wahai tuanku, aku hidup dalam keadaan yang penuh terrorist dan ketakutan dirumahku yang seharusnya aku merasa aman di dalamnya. Atau bersama suamiku yang seharusnya dia mampu mewujudkan cita-cita dan keamanan untukku dan anak-anakku. Aku hidup dalam penjara yang tidak kuasa untuk keluar darinya...
Kesedihan dan hal-hal yang tidak mampu kuceritakan banyak sekali dan sangat getir. Jika dirinci mungkin akan meghabiskan berlembar-lembar halaman. Tidak ada yang tersisa selain pertanyaan usang yang barangkali jawapannya tidak menyegerakan atau mengakhiri dari kesedihanku yang terwujud pada suami ini. Tetapi kerana harapan dan usaha untuk mengungkap isi hatilah yang mendorongku untuk menulis. Barangkali dia membacanya. Atau dibaca para isteri yang mengalami seperti apa yang aku ceritakan,sehingga mereka tahu kesengsaraan yang aku alami.
Apakah aku mampu mendapatkan jawapan pada diri Anda? Barangkali kalimat-kalimat Anda akan meringankan kesengsaraan yang ku alami."